Sabtu, 06 Juni 2009

50 tahun salah paham



Dikisahkan, disebuh gedung pertemuan yang amat megah, seorang

pejabat senior istana sedang menyelenggarakan pesta ulang tahun

perkawinannya yang ke-50.

Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh tamu-tamu penting

seperti para bangsawan, pejabat istana, pedagang besar serta

seniman-seniman terpandang dari seluruh pelosok negeri.

Bahkan kerabat serta kolega dari kerajaan-kerajaan tetangga juga

hadir. Pesta ulang tahun perkawinan pun berlangsung dengan megah dan

sangat meriah.

Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada

puncak acara, yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah.

Sebelum menikmati kamuan tersebut, seluruh hadirin mengikuti

prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang pejabat istana kepada

istri tercinta.

Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan emas yang diletakkan

di sebuah piring besar yang mahal. Ikan emas itu dimasak langsung oleh

koki kerajaan yang sangat terkenal.

"Hadirin sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal.

Tetapi, inilah ikan kegemaran kami berdua, sejak kami menikah

dan masih belum punya apa-apa, sampai kemudian di usia perkawinan kami

yang ke-50 serta dengan segala keberhasilan ini.

Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan,

kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi," kata sang pejabat senior

dalam pidato singkatnya.

Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa yang mana seluruh

hadirin tampak khidmat menyimak prosesi tersebut. Pejabat senior istana

mengambil piring, lalu memotong bagian kepala dan ekor ikan emas.

Dengan senyum mesra dan penuh kelembutan, ia berikan piring

berisikan potongan kepala dan ekor ikan emas tadi kepada isterinya.

Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak hadirin

bertepuk tangan dengan meriah sekali. Untuk beberapa saat, mereka tampak

ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan

tersebut.

Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan senyap. Samar-samar

terdengar isak tangis si isteri pejabat senior. Sesaat kemudian, isak

tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta. Para tamu yang

ikut tertawa bahagia mendadak jadi diam menunggu apa gerangan yang bakal

terjadi. Sang pejabat tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati

isterinya dan bertanya "Mengapa engkau menangis, isteriku?"

Setelah tangisan reda, sang isteri menjelaskan "Suamiku...sudah

50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu, aku telah dengan melayani

dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh. Demi kasihku kepadamu, aku

telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini.

Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa ini engkau masih saja

memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang

paling tidak aku sukai." tutur sang isteri.

Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata

berkaca-kaca pula, ia berkata kepada isterinya," Isteriku yang

tercinta...50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia

menjadi isteriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu.

Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan

bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu."

Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan,

"Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah

kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian

tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang

paling berharga buatmu."

Sang pejabat terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan lagi "Walaupun

telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai,

ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan saya, hingga detik

ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia." Akhirnya, sang pejabat

memeluk isterinya dengan erat. Tamu-tamu terhormat pun tersentuh hatinya

melihat keharuan tadi dan mereka kemudian bersulang untuk menghormati

kedua pasangan tersebut.

Moral cerita diatas:

Bisa saja, sepasang suami - isteri saling mencintai dan hidup

serumah selama bertahun-tahun lamanya. Tetapi jika di antaranya tidak

ada saling keterbukaan dalam komunikasi, maka kemesraan mereka

sesungguhnya rawan dengan konflik. Kebiasaan memendam masalah itu cukup

riskan karena seperti menyimpan bom waktu dalam keluarga. Kalau

perbedaan tetap disimpan sebagai ganjalan dihati, tidak pernah

dibiacarakan secara tulus dan terbuka, dan ketidakpuasan terus

bermunculan, maka konflik akan semakin tak tertahankan dan akhirnya bisa

meledak. Jika keadaan sudah seperti ini, tentulah luka yang ditimbulkan

akan semakin dalam dan terasa lebih menyakitkan.

Kita haruslah selalu membangun pola komunikasi yang terbuka

dengan dilandasi kasih, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan, pengertian

dan kebiasaan berpikir positif.

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu, gunakan saat

tersebut untuk menjelaskannaya. Karena engkau mungkin hanya punya satu

kesempatan itu saja untuk menjelaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar